DAYA SAING YANG LEBIH SEHAT

Dalam rekomendasinya yang banyak diikuti oleh negara-negara pengekspor jasa kepariwisataan, WTTC mengingatkan bahwa industri ini akan tumbuh secara berkelanjutan, rata-rata sebesar 4,6% setiap tahunnya. Diperkirakan, pada akhir decade ini, seperempat milyar manusia akan menggantungkan hidupnya dalam industri pariwisata. Untuk menangkap peluang ini, WTTC merekomentasikan tiga hal. Pertama, pemerintah harus menempatkan pariwisata sebagai top priority dalam kebijakan perekonomiannya. Kedua, bisnis apa saja yang dikembangkannya, harus menjaga keseimbangan tiga hal: manusia, budaya dan lingkungan hidupnya. Dan ketiga, semua pihak harus mulai dapat diajak berpikir jangka panjang dan berorientasi pada kesejahteraan.

Dengan demikian, maka daya saing pariwisata suatu bangsa tidak dapat dibangun secara konvensional. Selain memikirkan pembangunan citra, promosi, slogan dan positioning statement yang hebat, dayasaing harus dibangun dengan memperhatikan pergeseran cara pengambilan keputusan berwisata yang sedang terjadi di mancanegara. Pertama, wisawatan tidak lagi bepergian dengan mengandalkan buku-buku wisata, melainkan melalui situs-situs yang terdapat di internet. Kedua, wisatawan yang berkualitas, tidak melulu memperhatikan harga, melainkan keselarasan ekologi dan perhatian pada lingkungan. Ketiga, teknologi dan infrastruktur memegang peranan yang sangat menentukan.

Di berbagai ruang pameran pariwisata terbesar dunia, sudah mulai biasa kita dengar pertanyaan-pertanyaan yang bunyinya agak lain. Wisman dari berbagai penjuru dunia itu tidak lagi bisa dibujuk dengan fasilitas kamar atau hotel yang bagus. Mereka justru menanyakan dengan tajam tiga hal berikut ini: Pengolahan limbah, sanitasi dan kebersihan dapur, serta perlakuan manajemen terhadap karyawan (apakah mereka punya ruang istirahat yang layak).

Tidak sulit untuk mempelajari dimana posisi Indonesia dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Data pada table 2 menunjukkan adanya keterkaitan antara kepariwisataan dengan indeks-indeks lain yang dikeluarkan oleh The World Bank, khususnya World Development Indicators, Human Development Index dan sebagainya. Saya coba sorting beberapa data yang dapat menjadi perhatian para pembuat kebijakan serta pelaku usaha, seperti human tourism index (mengukur kemajuan kesejahteraan manusia dari segi kepariwisataan), infrastructure index (mengukur akses terhadap fasilitas public dan pariwisata, fasilitas sanitasi, air minum), environment index (mengukur tingkat perhatian dan kemajuan yang dicapai dalam pelestarian alam, emisi CO2, dan sebagainya), Technology index (khususnya fasilitas telekomunikasi, internet, mobile phone), Openness (akses untuk masuk negara, perolehan visa, pajak-pajak konsumsi, perdagangan internasional), social index (penyajian keadaan masyarakat melalui media cetak, PC, televise, kantor polisi), dan human resources index (tingkat harapan hidup, angka buta huruf, pendidikan, pengangguran, pelatihan, ketrampilan, indicator gender).

Terlepas dari berbagai persoalan ekonomi yang masih mengikat kaki dan tangan bangsa ini sehingga sulit bergerak, index pada table 2 menunjukkan beberapa pekerjaan rumah yang dapat dengan segera diselesaikan. Kalau perubahan pariwisata kita dapat dikelola dalam sebuah program manajemen perubahan, maka perubahan itu harus dilakukan secara konseptual, terencana, bertahap, dan dimulai dari hal-hal kecil yang dapat segera memberi hasil besar. Human Resources, misalnya, selain mahal, butuh waktu yang panjang untuk menghasilkan. Demikian juga dengan teknologi, yang tidak mudah diperoleh oleh pemerintahan baru dalam sekejap. Tetapi teknologi bisa segera ditumbuhkan, manakala pelancong-pelancong berkualitas tinggi berdatangan dan menarik minat investor baru. Untuk itulah saya melirik pada human tourism index, environment index, openness index dan social index. Dari keempat index ini, yang paling mudah tentu saja openness index. Pemerintah kita bisa mulai dengan membuka akses yang lebih luas pada para wisatawan untuk masuk.

Sayangnya, sebuah pemerintahan biasanya cenderung populis dan keterbukaan dihasilkan dari tekanan kalangan menengah yang ingin bepergian ke luar negri, bukan sebaliknya. Dalam semangat kerjasama Asean, keterbukaan dilakukan untuk menghapuskan biaya fiscal, sementara pada saat yang sama diberlakukan visa on arrival yang menghambat arus wisatawan masuk ke negri ini. Bahkan dalam waktu dekat, di luar negri telah tersiar akan dikenakan biaya 911 di Bali yang besarnya hampir sama dengan biaya visa tadi.

Selain indeks keterbukaan, human tourism index juga dapat diterapkan dengan cepat. Di daerah Ubud (Bali) misalnya, partisipasi masyarakat dalam kepariwisataan begitu kuat sekali. Masyarakat melukis, menari, memainkan gamelan, memahat, dan menikmati hasil dari kesenian. Siangnya mereka bekerja di hotel, malamnya berkesenian. Tjokorda Raka Sukawati, putra raja Ubud yang dikenal sebagai undagi (arsitek tradisional) mengajarkan masyarakat berkesenian, seperti yang digagas oleh almarhum raja Ubud ketika mendatangkan pelukis-pelukis besar seperti Walter Spies, Antonio Blanco, atau Affandi untuk menetap di Ubud. Mereka diberi rumah di Ubud dengan syarat mengajarkan masyarakat melukis. Sejak itulah tradisi melukis masyarakat Ubud berubah, dari lukisan berbasis cerita Mahabrata menjadi lukisan kehidupan mereka sehari-hari. Tjokorda, selain dosen di Universitas Udayana ternyata juga seorang usahawan yang ulet. Hotelnya yang diwariskan oleh orangtua berkembang, dari Tjampuhan Resort (dimana terletak rumah peninggalan Walter Spies) lahirlah Pitamaha (boutique hotel), dan kini ia sedang membangun sebuah mahakarya yang disebutnya The Royal Pitamaha. Di situ semua penduduk kebagian hidup, berpartisipasi menikmati kesejahteraan dan menumbuhkan kesenian. Saya melihat tradisi seperti ini bukanlah hal yang sulit dibangun pada daerah-daerah kunjungan wisata Indonesia. Apakah di Ubud, Bunaken, Pulau Penyengat, Nias, Mentawai, atau Danau Toba. Tradisi kebersamaan bisa dibangun dengan menjaga keunikan masing-masing, asalkan jelas arah dan strateginya.

Sebagai penutup, saya ingin mengajak para pemimpin untuk tidak mengabaikan pariwisata, melainkan ia dapat dijadikan prioritas yang penting dengan biaya yang tidak terlalu mahal. Pariwisata bebas polusi, membuat bangsa ini lebih murah senyum, hidup lebih demokratis, dan tentu saja lebih sejahtera. Tanpa memperhatikan factor-faktor pembentuk daya saingnya, industri pariwisata ini akan memasuki era gawat, yang saya sebut S.O.S.

Posting Komentar